Senin, 30 Maret 2015

Kimaam, Merauke, Papua

Kaya Tapi Miskin



Pulau kimaam,yang juga disebut pulau Dolok, pulau Kolepom, Pulau Frederik Henrdik, pulau Yosudarso dengan luas wilayah  14.357 km2. Se
bagian besar daerahnya terdiri dari rawa-rawa. Pulau ini tebentuk karena sedimen endapan sungai Digul. Oleh karena itu, bagian selatan dan tengah pulau Kimaam memiliki ketinggian lebih tinggi daripada wilayah selatan dan barat. Pulau Kimaam adalah daerah rawa yang terdiri dari ekositem tumbuhan mangrov, savana, rawa dan hutan hijau.
        Adalah pulau yang diberkati dengan sumber daya alam yang melimpah. Sekilas melihat,pulau ini boleh dikatan sebagai rumah bagi keanekaragaman hayati  fauna seperti burung, ikan, buaya rusa dan kanguru. Wilayah pantai selatan pulau Kimaam merupakan habitat utama bagi berbagai jenis buaya.
        Ditinjau dari ilmu hidrologi (ilmu tentang air) dan sejumlah besar tanaman mangrove yang tumbuh sepanjang pesisir,wilayah tersebut merupakan tempat yang ideal untuk kehidupan fauna laut seperti ikan, udang dan kepiting.
        Pulau kimaam ‘’Kaya Tetapi Miskin’’, masyarakatnya mengalami sejumlah masalah seperti kurangnya sumber daya manusia, sulit mengakses pelayanan kesehatan dan minimnya fasilitas kesehatan,kematian ibu dan anak yang masih tinggi, sebagian besar dari mereka yang masih buta huruf-tingginya tingkat kemiskinan. Singkaynya, kekayaan sumber daya alam tidak membawah kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat adat.
        Pada tahun 2006, Sekretatiat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke (SKP-KAM) menerbitkan sebuah tulisan tentang “kehidupan dan konflik sumber daya alam di Kimaam’’. Tulisan tersebut menceriterakan tentang kehidupan masayarakat Kimaam yang dikelilingi dengan konflik sumber daya alam. Hal itu menggambarkan bahwa,akibat  kesalahan kebijakan pemerintah daerah sehingga menyebabkan konflik antar suku seperti pada tahun 2003 Maskura berdarah dan Korimen-Kontuar berdarah 2001-2003. Latar belakang peristiwa berdarah tersebut karena tuntutan masyarakat terhadap hak dan harga diri mereka yang yang diinjak-injak dan perampasan hak ulayat mereka.
        Fakta lain yang perlu menjadi perhatian bahwa, akibat minimnya fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan menyebabkan tingginya angka kematian ibu dan anak yang juga disebabkan oleh kekurangan gizi.
 Haruslah memahami bahwa, itu bukan kehendak Tuhan kepada mereka tetapi, penyebabnya adalah kesalahan dan kelalaian kebijakan pemerintah.
Paulus Levitar, warga kampung Waan yang juga bertugas di daerah terpencil itu sebagai tenaga guru sukarela mengatakan bahwa ‘’ jika kami sakit, pecahan botol adalah obat kami. Kami menggunakan pecahan botol untuk mengiris tubuh kami sehingga darah kotor yang menyebabkan penyakit keluar. Dokter , Perawar dan staf medis lainnya hamper tidak pernah mengunjungi kami’’.
Kondisi kesehatan yang buruk ini diperparah lagi oleh karena tingkat pendidikan dan pengetahuan tentang kesehatan  yang buruk. Tingkat  buta huruf yang tinggi ini juga disebabkan karena guru yang mengajar di sana selalu lalai dan meninggalkan profesi mereka sehingga kekurangan tenaga guru dan akhirnya proses belajar-mengajar tidak berjalan dengan baik.

Harapan mereka ke depannya, semoga setiap kebijakan pemerintah yang seharunya bertujuan mensejahterakan dan mengahragai hah-hak mereka dapat menyentuh dan mereka rasakan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar