Kaya
Tapi Miskin
Pulau kimaam,yang juga
disebut pulau Dolok, pulau Kolepom, Pulau Frederik Henrdik, pulau Yosudarso
dengan luas wilayah 14.357 km2.
Se
bagian besar daerahnya
terdiri dari rawa-rawa. Pulau ini tebentuk karena sedimen endapan sungai Digul.
Oleh karena itu, bagian selatan dan tengah pulau Kimaam memiliki ketinggian
lebih tinggi daripada wilayah selatan dan barat. Pulau Kimaam adalah daerah
rawa yang terdiri dari ekositem tumbuhan mangrov, savana, rawa dan hutan hijau.
Adalah pulau
yang diberkati dengan sumber daya alam yang melimpah. Sekilas melihat,pulau ini
boleh dikatan sebagai rumah bagi keanekaragaman hayati fauna seperti burung, ikan, buaya rusa dan
kanguru. Wilayah pantai selatan pulau Kimaam merupakan habitat utama bagi
berbagai jenis buaya.
Ditinjau
dari ilmu hidrologi (ilmu tentang air) dan sejumlah besar tanaman mangrove yang
tumbuh sepanjang pesisir,wilayah tersebut merupakan tempat yang ideal untuk
kehidupan fauna laut seperti ikan, udang dan kepiting.
Pulau kimaam
‘’Kaya Tetapi Miskin’’, masyarakatnya mengalami sejumlah masalah seperti
kurangnya sumber daya manusia, sulit mengakses pelayanan kesehatan dan minimnya
fasilitas kesehatan,kematian ibu dan anak yang masih tinggi, sebagian besar dari
mereka yang masih buta huruf-tingginya tingkat kemiskinan. Singkaynya, kekayaan
sumber daya alam tidak membawah kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat
adat.
Pada tahun
2006, Sekretatiat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke (SKP-KAM) menerbitkan
sebuah tulisan tentang “kehidupan dan konflik sumber daya alam di Kimaam’’. Tulisan
tersebut menceriterakan tentang kehidupan masayarakat Kimaam yang dikelilingi
dengan konflik sumber daya alam. Hal itu menggambarkan bahwa,akibat kesalahan kebijakan pemerintah daerah sehingga
menyebabkan konflik antar suku seperti pada tahun 2003 Maskura berdarah dan
Korimen-Kontuar berdarah 2001-2003. Latar belakang peristiwa berdarah tersebut
karena tuntutan masyarakat terhadap hak dan harga diri mereka yang yang
diinjak-injak dan perampasan hak ulayat mereka.
Fakta
lain yang perlu menjadi perhatian bahwa, akibat minimnya fasilitas pelayanan
kesehatan dan tenaga kesehatan menyebabkan tingginya angka kematian ibu dan
anak yang juga disebabkan oleh kekurangan gizi.
Haruslah memahami bahwa, itu bukan kehendak
Tuhan kepada mereka tetapi, penyebabnya adalah kesalahan dan kelalaian
kebijakan pemerintah.
Paulus Levitar, warga kampung
Waan yang juga bertugas di daerah terpencil itu sebagai tenaga guru sukarela
mengatakan bahwa ‘’ jika kami sakit, pecahan botol adalah obat kami. Kami menggunakan
pecahan botol untuk mengiris tubuh kami sehingga darah kotor yang menyebabkan
penyakit keluar. Dokter , Perawar dan staf medis lainnya hamper tidak pernah
mengunjungi kami’’.
Kondisi kesehatan yang
buruk ini diperparah lagi oleh karena tingkat pendidikan dan pengetahuan
tentang kesehatan yang buruk. Tingkat buta huruf yang tinggi ini juga disebabkan
karena guru yang mengajar di sana selalu lalai dan meninggalkan profesi mereka
sehingga kekurangan tenaga guru dan akhirnya proses belajar-mengajar tidak
berjalan dengan baik.
Harapan mereka ke
depannya, semoga setiap kebijakan pemerintah yang seharunya bertujuan
mensejahterakan dan mengahragai hah-hak mereka dapat menyentuh dan mereka
rasakan.